UNDANG-UNDANG
REPUBLIK
NOMOR
13 TAHUN 1980
TENTANG
JALAN
PRESIDEN
REPUBLIK
Menimbang
:
a. bahwa
jalan sebagai salah satu prasarana perhubungan hakekatnyamerupakan unsur penting dalam
usaha pengembangan kehidupan bangsa dan pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa untuk
mencapai Tujuan Nasional berdasarakan Pancasila, seperti termaktub di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa
jalan mempunyai peranan penting terutama yang menyangkut perwujudan perkembangan antar
daerah yang seimbang dan pemerataan hasil pembangunan serta pemantapan pertahanan dan
keamanan nasional dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional;
c. bahwa
untuk terpenuhinya peranan jalan sebagaimana mestinya, Pemerintah mempunyai hak dan
kewajiban membina jalan;
d. bahwa
untuk menjamin terselenggaranya peranan jalan serta pembinaannya secara konsepsional dan
menyeluruh, perlu adanya Undang-undang untuk mengatur hal ikhwal jalan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2043);
3.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-Benda
yang ada di atasnya (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2324);
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Raya (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 25, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2742);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974, Nomor 38, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3037),
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG JALAN.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-undang
ini yang dimaksud dengan:
a. Negara adalah Negara Republik
b. Pemerintah adalah Perangkat Negara Kesatuan
Republik
c. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab dalam
bidang pembinaan jalan;
d. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
e. Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat
dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu-lintas;
f. Jalan Umum adalah jalan yang diperuntukkan
bagi lalu-lintas umum;
g. Jalan Khusus adalah jalan selain daripada yang
termasuk dalam huruf f;
h. Jalan Tol adalah jalan umum yang kepada para
pemakainya dikenakan kewajiban membayar tol;
i. Tol adalah sejumlah uang tertentu yang
dibayarkan untuk pemakaian Jalan Tol;
j. Pembinaan jalan adalah kegiatan penanganan
jaringan jalan yang meliputi penentuan sasaran dan pewujudan sasaran.
BAB
II
JARINGAN
JALAN
Bagian
Pertama Peranan Jalan
Pasal 2
(1). Jalan mempunyai peranan penting dalam bidang
ekonomi, politik, sosial budaya. Dan pertahanan keamanan serta dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2). Jalan mempunyai peranan untuk mendorong
pengembangan semua Satuan Wilayah Pengembangan, dalam usaha mencapai tingkat perkembangan
antar daerah yang semakin merata.
(3). Jalan merupakan suatu kesatuan sitem jaringan
jalan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada
dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hirarki.
Pasal 3
(1). Sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan
semua simpul jasa distribusi yang kemudian berwujud kota, membentuk sistem jaringan jalan
primer;
(2). Sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam kota membentuk sistem jaringan jalan
sekunder.
(3). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Pengelompokan
Jalan Menurut Peranan
Pasal 4
(1). Jalan yang melayani angkutan utama dengan
ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan ratarata tinggi, dan jumlah.jalan masuk
dibatasi secara efisien disebut Jalan Arteri.
(2). Jalan yang melayani angkutan
pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi disebut Jalan Kolektor.
(3). Jalan yang melayani angkutan setempat dengan
ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi, disebut Jalan Lokal.
(4). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
III
BAGIAN
- BAGIAN JALAN
Pasal 5
(1). Bagian-bagian jalan meliputi Daerah Manfaat
Jalan, Daerah Milik Jalan, dan Daerah Pengawasan Jalan.
(2). Daerah Manfaat Jalan meliputi badan jalan,
saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.
(3). Daerah Milik Jalan meliputi Daerah Manfaat
Jalan dan sejalur tanah tertentu, di luar Daerah Manfaat Jalan.
(4). Daerah Pengawasan Jalan merupakan sejalur
tanah tertentu di luar Daerah Milik Jalan yang ada di bawah pengawasan pembina jalan.
(5). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1). ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB
IV
HAK
PENGUASAAN DAN WEWENANG
Pasal 6
(1). Hak Penguasaan atas jalan ada pada Negara.
(2). Hak menguasai oleh Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah untuk melaksanakan pembinaan
jalan.
Pasal 7
(1). Wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) dapat dilimpahkan dan atau diserahkan kepada instansi -instansi
Pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah.
(2). Wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat diserahkan kepada Badan Hukum atau Perorangan, dengan memperhatikan sebesar-besar
kepentingan umum.
(3). Syarat-syarat dan cara-cara pelimpahan dan
atau penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
V
WEWENANG
PEMBINAAN JALAN
Bagian
Pertama
Pengelompokan
Jalan Menurut Wewenang Pembinaan
Pasal 8
(1). Jalan Umum yang pembinaannya dilakukan oleh
Menteri dikelompokkan dalam Jalan Nasional.
(2). Jalan Umum yang pembinaannya dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dikelompokkan dalam Jalan Daerah.
(3). Jalan Khusus yang pembinaannya tidak
dilakukan oleh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disebut sesuai dengan :
-Instansi, -Badan Hukum, -Perorangan, yang bersangkutan.
(4). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Wewenang
Penyusunan Rencana Umum Jangka Panjang Rencana Jangka Menengah,
Program,
Pengadaan, dan Pemeliharaan
Pasal 9
(1). Pembinaan jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) meliputi penyusunan rencana umum jangka panjang, penyusunan rencana
jangka menengah, penyusunan program, pengadaan, dan pemeliharaan.
(2). Pengadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi perencanaan teknik, pembangunan, penerimaan, penyerahan, dan pengambilalihan.
Pasal 10
(1). Wewenang penyusunan rencana umum jangka
panjang jaringan jalan primer, ada pada Pemerintah.
(2). Wewenang penyusunan rencana umum jangka
panjang jaringan jalan sekunder, diserahkan kepada Pemerintah Daerah atau ilimpahkan
kepada Pejabat atau Instansi di Pusat atau di Daerah.
(3). Wewenang penyusunan rencana umum jangka
panjang Jalan Khusus dapat diserahkan kepada : -Pemerintah Daerah, -Badan Hukum,
-Perorangan, atau dilimpahkan kepada Pejabat atau Instansi di Pusat atau di Daerah.
(4). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1). Wewenang penyusunan rencana jangka menengah
dan program pewujudan jaringan Jalan Arteri, Jalan Kolektor, dan Jalan Lokal pada jaringan
jalan primer ada pada Pemerintah.
(2). Wewenang penyusunan rencana jangka menengah
dan program pewujudan Jalan Arteri, Jalan Kolektor, dan Jalan Lokal pada jaringan jalan
sekunder diserahkan kepada Pemerintah Daerah atau dilimpahkan kepada Pejabat atau Instansi
di Pusat atau di Daerah.
(3). Wewenang penyusunan rencana jangka menengah
dan program perujudan Jalan Khusus dapat diserahkan kepada - Pemerintah Daerah, -Badan
Hukum, -Perorangan, atau dilimpahkan kepada Pejabat atau Instansi di Pusat atau di Daerah.
(4). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1). Wewenang perencanaan teknik dan pembangunan
serta wewenang pemeliharaan Jalan Arteri, Jalan Kolektor, dan Jalan Lokal pada jaringan
primer, dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah atau Badan Hukum atau dapat dilimpahkan
kepada Pejabat atau Instansi di Pusat atau di Daerah.
(2). Wewenang perencanaan teknik dan pembangunan
serta wewenang pemeliharaan Jalan Arteri, Jalan Kolektor, dan Jalan Lokal pada jaringan
jalan sekunder, diserahkan kepada Pemerintah Daerah atau dilimpahkan kepada Pejabat atau
Instansi di Pusat atau di Daerah.
(3). Wewenang perencanaan teknik dan pembangunan
serta wewenang pemeliharaan Jalan Khusus dilimpahkan kepada Pejabat atau Instansi di Pusat
atau di Daerah atau diserahkan kepada -Badan Hukum, -Perorangan.
(4). Wewenang penerimaan,
penyerahan, dan pengambilalihan Jalan Arteri, Jalan Kolektor, dan Jalan Lokal pada
jaringan jalan primer ada pada Pemerintah.
(5). Wewenang penerimaan, penyerahan, dan
pengambil alihan Jalan Arteri, Jalan Kolektor, dan Jalan Lokal pada jaringan jalan
sekunder diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
(6). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB
VI
PENYELENGGARAAN
JALAN TOL
Bagian
Pertama Jalan Tol
Pasal 13
Pemilikan dan
hak penyelenggaraan Jalan Tol ada pada Pemerintah.
Pasal 14
Atas usul
Menteri, Presiden menetapkan suatu ruas jalan sebagai Jalan Tol.
Pasal
15
Jalan
Tol merupakan alternatif lintas jalan umum yang ada.
Bagian
Kedua
Syarat-syarat
Jalan Tol
Pasal
16
(1). Jalan Tol harus mempunyai spesifikasi yang
lebih tinggi daripada lintas jalan umum yang ada.
(2). Jalan Tol harus memberikan keandalan yang
lebih tinggi kepada para pemakainya daripada lintas jalan umum yang ada.
(3).
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Wewenang
Penyelenggaraan Jalan Tol
Pasal
17
(1). Berdasarkan hak penyelenggaraan Jalan Tol
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah menyerahkan wewenang penyelenggaraan Jalan
Tol kepada Badan Hukum Usaha Negara Jalan Tol.
(2). Badan Hukum Usaha Negara Jalan Tol
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3). Penyerahan wewenang penyelenggaraan
Jalan Tol tidak melepaskan tanggung jawab Pemerintah terhadap jalan yang diserahkan
penyelenggaraannya.
(4). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keempat
Pemakaian
Jalan Tol
Pasal
18
(1). Jalan Tol hanya diperuntukkan bagi pemakai
jalan yang menggunakan kendaraan bermotor dengan membayar tol.
(2). Jenis kendaraan bermotor dan besarnya tol
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3). Pemakaian Jalan Tol selain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan dengan persetujuan Presiden.
Pasal
19
(1). Pemakai Jalan Tol wajib mentaati peraturan
perundang-undangan tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, peraturan
perundang-undangan tentang Jalan serta peraturan perundang-undangan lainnya.
(2). Badan Hukum Usaha Negara Jalan Tol wajib
mengganti kerugian yang diderita oleh Pemakai Jalan Tol sebagai akibat kesalahan dalam
penyelenggaraan Jalan Tol.
(3). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VII
PERBUATAN-PERBUATAN
YANG DILARANG
Pasal 20
(1). Dilarang melakukan perbuatan yang dapat
mengakibatkan terganggunya peranan jalan di dalam Daerah Milik Jalan dan Daerah Pengawasan
Jalan.
(2). Dilarang menyelenggarakan wewenang pembinaan
jalan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3). Dilarang menyelenggarakan suatu ruas jalan
sebagai Jalan Tol tanpa Keputusan Presiden.
(4). Dilarang memasuki Jalan Tol, kecuali Pemakai
Jalan Tol dan Petugas Jalan Tol.
BAB
VIII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 21
(1). Barangsiapa melanggar ketentuan Pasal 20 ayat
(1) dan ayat (2), dipidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah).
(2). Barangsiapa melanggar ketentuan Pasal 20 ayat
(4) dipidana kurungan selama-lamanya 7 (tujuh) hari atau denda setinggi-tingginya Rp.
15.000, (lima belas ribu rupiah).
(3). Barangsiapa melanggar ketentuan Pasal 20 ayat
(3) dipidana penjara selama-lamanya 15 lima belas) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp.
50.000.000,- (lima puluhjuta rupiah),
(4). Barang milik terpidana yang diperoleh dari
atau yang sengaja digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dapat dirampas.
(5). Perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) adalah pelanggaran.
(6). Perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) adalah kejahatan
Pasal 22
Dalam
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat dicantumkan ancaman
pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 150.000,-
(seratus lima puluh ribu rupiah).
BAB
IX
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 23
Peraturan
perundang-undangan yang telah ada dan tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang
ini, dinyatakan tetap berlaku sampai diubah atau diatur kembali berdasarakan Undang-undang
ini.
BAB
X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 24
Undang-undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27
Desember 1980.
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27
Desember 1980.
MENTERI/SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SUDHARMONO, SH
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK
NOMOR
13 TAHUN 1980 TENTANG JALAN UMUM
1. Jalan sebagai salah satu prasarana perhubungan
hakekatnya merupakan unsur penting dalam usaha pengembangan kehidupan bangsa dan pembinaan
kesatuan dan persatuan bangsa untuk mencapai Tujuan Nasional, yang hendak diwujudkan
melalui serangkaian program pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu serta
berlangsung secara terus-menerus. Dalam kerangka itu maka jalan mempunyai peranan yang
penting dalam mewujudkan sasaran pembangunan nasional, seperti pemerataan pembangunan dan
hasilhasilnya yang menuju pada terciptanya keadaan sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, serta dalam
jangka panjang terciptanya landasan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan,
sendiri, menuju suatu masyarakat Indonesia yang maju, adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
2. Tumbuh dan berkembangnya suatu masyarakat bangsa
dan negara pada khususnya dan manusia pada umumnya, jelas memerlukan peranan jasa angkutan
yang mendukung berlangsungnya kegiatan usaha masyarakat dan manusia pada umumnya. Dalam
proses kehidupan manusia untuk mencapai tujuannya, maka kumpulan kegiatan usaha manusia
dikatagorikan sebagai proses utama, karena memberikan produk yang indentik dengan sasaran
pokok kehidupan manusia. Untuk itu, diperlukan pengembangnan dalam
kehidupan manusia, yang dimungkinkan terjadi oleh adanya pola efisiensi pada segenap
kegiatan usahanya. Dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia akan
terjadi arus orang dan barang. Arus barang hanya dimungkinkan terjadi
oleh adanya jasa distribusi, yaitu jasa perdagangan dan jasa angkutan sebagai bagian yang
tak terpisahkan, yang bermula dari lokasi sumber alam dan berhenti pada konsumen akhir.
3. Tersebarnya lokasi, baik sumber alam maupun
konsumen akhir, menuntut diikutinya pola efisiensi dalam menghubungkan keduanya, yang
digambarkan dengan terbentuknya simpul jasa distribusi. Menurut pertimbangan ekonomi
simpul jasa distribusi tersebutlah yang merupakan titik tumpu bagi tumbuh dan
berkembangnya
4. Dalam pada itu disadari, bahwa tingkat perkembangan
antar daerah yang seimbang mempunyai arti yang penting bagi terjaminnya sasaran pemerataan
pertumbuhan, sebagai usaha untuk mewujudkan berbagai tujuan pembangunan. Tingkat
perkembangan suatu daerah (wilayah dalam batasan administratif) akan
dipengaruhi oleh Satuan Wilayah Pengembangan yang bersangkutan. Bertolak
pada gejala bahwa sistem sosial cenderung untuk menolak berlakunya hukum keseimbangan
(seperti terlihat pada gejala makin menajamnya perbedaan dalam tingkat perkembangan daerah
apabila prosesnya berlangsung tanpa. dikendalikan maka pada prinsipnya perkembangan semua
Satuan Wilayah Pengembangan perlu dikendalikan; apabila ingin dicapai tingkat perkembangan
antar daerah yang seimbang. Usaha pengendalian dimaksud pada
dasarnya merupakan salah satu langkah penyeimbangan dalam pengembangan wilayah, yang dapat
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya,
dengan jalan memberikan kesempatan kepada beberapa Satuan Wilayah Pengembangan yang
tergolong kecil dan lemah untuk mengelompokkan diri menjadi lebih besar dan kuat.
5. Proses pengelompokkan tersebut akan
membawa implikasi pada pembinaan sistem distribusi yang menunjangnya. Sejalan dengan
pengertian struktur wilayah, proses pengelompokkan dijalankan dengan meningkatkan
kemampuan pelayanan pemasaran
dari salah satu
6. Dalam kehidupan bangsa kedudukan dan peranan
jaringan jalan seperti uraian terdahulu memberikan ketegasan bahwa jaringan jalan pada
hakekatnya menyangkut hajat hidup orang banyak serta mengendalikan pembentukkan Struktur
Pengembangan Wilayah pada Tingkat Nasional, terutama yang menyangkut pewujudan
perkembangan antar daerah yang seimbang dan pemerataan hasil-hasil pembangunan, serta
pemantapan pertahanan dan keamanan nasional, dalam rangka mewujudkan sasaran-sasaran
pembangunan nasional menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Uraian di atas menunjukkan relevansi yang spesifik pada peranan jalan, yaitu
langsung hubungannya dengan Struktur Pengembangan Wilayah maka pengertian pemerataan
pembangunan dipertegas kaitannya dengan struktur tersebut serta tujuan yang spesifik pula
yakni pewujudan perkembangan antar daerah yang seimbang. jadi pewujudan dan perkembangan
antar daerah yang seimbang dan pemerataan hasil pembangunan adalah identik dengan
pengertian pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Dari seluruh uraian di atas sudah
selayaknya apabila Negara menguasai jaringan jalan.
7. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan
Negara, mempunyai hak membina jalan. Dalam hal ini setiap usaha pembinaan jalan harus
dilandasi oleh jiwa pengabdian kepada Bangsa dan Negara. Pembinaan jalan, sebagai salah
satu bagian dari pembinaan prasarana perhubungan melibatkan unsur Rakyat dan Pemerintah,
sehingga usaha pengaturannya ditujukan baik kepada Rakyat maupun Pemerintah. Dalam
hubungan ini diperlukan adanya kesepakatan atas pengenalan masalah sasaran pokok pembinaan
jalan. Karena Pemerintah pada hakekatnya menjalankan tugas yang menurut ukuran wajar tidak
dapat ditangani sendiri oleh, Rakyat, maka usaha pengaturan kecuali mengandung materi
pokok berupa pengenalan masalah sasaran pokok pembinaan jalan juga penegasan tentang hak
dan kewajiban Pemerintah maupun Rakyat serta pedoman bagi usaha pengaturannya lebih
lanjut.
8. Sehubungan dengan hal tersebut di atas pengaturan
hal ikhwal jalan perlu segera dimantapkan dalam bentuk Undang-undang, yang menyangkut
materi pokok tentang pengenalan masalah sasaran pokok pembinaan jalan, penegasan tentang
hak dan kewajiban dan pedoman bagi usaha pengaturan lebih lanjut.
PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1.
Istilah yang dirumuskan
dalam pasal ini dimaksudkan agar supaya terdapat, keseragaman pengertian atas isi
Undang-undang ini serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Huruf a.
Cukup jelas
Huruf b.
Yang dimaksud dengan
Pemerintah ialah Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Huruf c.
Cukup jelas
Huruf d.
Yang dimaksud dengan
Pemerintah Daerah ialah Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Huruf e.
Yang dimaksud dengan
Jalan ialah prasarana perhubungan darat yang diperuntukkanbagi lalu lintas kendaraan,
orang, dari hewan. Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah jalan rel misalnya jalan
kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Dengan anak-
kalimat "dalam
bentuk apapun" dimaksudkan pengertian jalan tidak terbatas pada bentuk jalan yang
konvensional (pada permukaan tanah), akan tetapi termasuk juga jalan yang melintasi sungai
besar/danau/laut, di bawah permukaan tanah dan air (terowongan) dan diatas permukaan tanah
(jalan layang). Yang termasuk bangunan pelengkap jalan ialah bangunan yang tidak dapat
dipisahkan dari jalan, antara lain jembatan, ponton, lintas atas ("overpass"),
lintas bawah ("underpass"), tempat parkir, gorong-gorong, tembok
penahan,
dan saluran air jalan. Yang termasuk perlengkapan jalan antara lain
ramburambu jalan. rambu-rambu lalu-lintas, tanda-tanda jalan,
pagar pengamanan lalu lintas, pagar Daerah Milik Jalan, dan patok-patok Daerah Milik
Jalan.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf
g.
Yang dimaksud
dengan, Jalan khusus adalah jalan yang tidak diperuntukkan bagi lalu lintas umum, antara
lain jalan inspeksi pengairan, jalan inspeksi saluran minyak atau gas, jalan perkebunan,
jalan pertambangan, jalan kehutanan, jalan komplek bukan untuk umum, jalan untuk keperluan
pertahanan dan keamanan Negara. Dalam hal suatu ruas jalan khusus
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau oleh pemiliknya dinyatakan
terbuka bagi lalu lintas umum, maka terhadap ruas jalan dan lalu lintas tersebut berlaku
peraturan perundang-undangan tentang Jalan dan tentang Lalu lintas Angkutan Jalan Raya.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i.
Cukup jelas.
Huruf j.
Penentuan sasaran
meliputi penyusunan rencana umum jangka panjang penyusunan rencana jangka menengah, dan
program pewujudan sasaran. Pewujudan sasaran
meliputi kegiatan penyusunan rencana teknik. pembangunan, dan pemeliharaan.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
kota dalam ayat ini, adalah dalam kaitannya dengan jaringan jalan, bukan pengertian kota
dalam administrasi pemerintahan. Yang dimaksud dengan simpul jasa distribusi, adalah suatu
simpul yang terjadi akibat berlakunya pola-pola efisiensi pada arus barang atau orang yang
menjadi titik tumpu bagi tumbuh dan berkembangnya kota menurut pertimbangan ekonomi. Jaringan
jalan primer berkaitan erat dengan Struktur Pengembangan Wilayah Pada Tingkat Nasional,
yang menurut
peranan pelayanannya
terdiri dari JalanArteri, Jalan Kolektor, dan Jalan Lokal.
Ayat (2)
Jaringan jalan sekunder
berkaitan erat dengan Struktur Wilayah Pengembangan Kota, yang menurut peranan
pelayanannya terdiri dari Jalan Arteri, jalan Kolektor, dan Jalan Lokal. Jalan Arteri
Primer dan Kolektor Primer tidak terputus walaupun memasuki suatu
kota.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Daerah Manfaat Jalan
adalah suatu daerah yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan terdiri dari badan jalan,
saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan
atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan. Ambang pengaman jalan terletak di bagian paling
luar dari Daerah Manfaat Jalan, dan dimaksudkan untuk mengamankan bangunan Jalan.
Ayat (3)
Daerah Milik Jalan
("right of way") dibatasi dengan tanda batas Daerah Milik Jalan. Sejalur tanah
tertentu di luar Daerah Manfaat Jalan tetapi di Daerah Milik Jalan dimaksudkan untuk
memenuhi persyaratan kekuasan keamanan penggunaan jalan dalam hal untuk keperluan
pelebaran Daerah Manfaat Jalan dikemudian hari.
Ayat (4)
Daerah Pengawasan Jalan
adalah sejalur tanah tertentu yang terletak di luar Daerah Milik Jalan, yang penggunaannya
diawasi oleh pembina jalan, dengan maksud agar tidak mengganggu pandangan pengemudi dan
konstruksi bangunan jalan, dalam hal tidak
cukup
luasnya Daerah Milik Jalan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Secara umum wewenang
pembinaan jalan ada pada Pemerintah di samping itu karena adanya kekhususan di bidang
pengairan, perkebunan, pertambangan, kehutanan, pelabuhan, pertahanan dan keamanan, dan
lain-lain, maka pelaksanaan pembinaan jalan
perlu
memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang masing-masing. Pelimpahan
dan atau penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal ini berarti bahwa hak dan
kekuasaan untuk melakukan pembinaan beralih pada instansi yang bersangkutan.
Penyerahan
wewenang kepada Badan Hukum dan atau Perorangan dilakukan dengan memperhtikan kepentingan
dan kemakmuran masyarakat sekitarnya. Tapi dalam pada itu
karena pembinaan dan pengurusan jalan adalah beban Badan Hukum atau Perorangan,
penerima penyerahan
itu, Pemerintah tidak akan mengabaikan kepentingannya.
Pasal 8
Ayat (1)
Jalan umum yang
dikelompokkan dalam Jalan Nasional disebut Jalan Nasional.
Ayat (2)
Jalan umum yang
dikelompokkan dalam Jalan Daerah : -yang dibina oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dapat
disebut Jalan Propinsi; -yang dibina oleh Pemerintah Daerah Tingkat II dapat disebut Jalan
kabupaten/Kotamadya; -yang dibina oleh Pemerintah Desa
dapat disebut Jalan
Desa.
Ayat (3)
Jalan khusus yang
dibina oleh Instansi Badan Hukum antara lain dapat disebut jalan
instansi pengairan,
jalan perkebunan, jalan pertambangan ,jalan kehutanan ,jalan
komplek yang bukan
jalan umum, jalan pelabuhan dan lain-lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Pembinaan jalan pada
hakekatnya meliputi penentuan sasaran dan pewujudan sasaran. Termasuk dalam penentuan
sasaran adalah kegiatan-kegiatan penysusunan rencana umum jangka panjang, penyusunan
rencana jangka menengah, dan penetapan program untuk pewujudan rencana-rencana tersebut
termasuk dalam pewujudan sasaran adalah kegiatan-kegiatan pengadaan dan pemeliharan.
Ayat (2)
Pengertian pengadaan
tidak terbatas hanya pada perencanaan teknik dan pembangunan saja, akan tetapi meliputi
pula penerimaan, penyerahan, dan pengambilan. Contoh dari penerimaan dan penyerahan
misalnya, Pemerintah menerima penyerahan Jalan Khusus dari Badan Hukum/Instansi dan
kemudian dinyatakan sebagai Jalan Umum. Contoh dari pengambilalihan misalnya, Pemerintah,
mengabilalih Jalan Khusus dari Badan Hukum/Instansi dan kemudian dinyatakan sebagai Jalan
Umum.
Pasal 10.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 13
Mengingat bahwa Jalan
Tol merupakan jaringan jalan umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sudah
selayaknya apabila pemiliknya dan penyelenggaraannya ada pada Pemerintah. Penyelenggaraan
Jalan Tol, meliputi semua kegiatan pewujudan sasaran pembinaan Jalan Tol dan kegiatan
operasinya. Kegiatan operasi dimaksud meliputi pengumpulan tol, pengaturan pemakaian dan
pengamanan Jalan Tol, usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan penyelenggaraan
Jalan Tol.
Pasal 14
Usul Menteri untuk
menetapkan suatu ruas jalan sebagai Jalan Tol didasarkan atas rencana
umum jangka menengah
dan program pewujudan jaringan jalan Pemerintah. Pembangunan
Jalan Tol
diselenggarakan tanpa membebani Anggaran Pandapatan dan Belanja Negara dan
biaya operasi kendaraan
melalui Jalan Tol ditambah dengan pembayaran tol harus lebih
rendah daripada biaya
operasi kendaraan melalui lintas alternatif jalan umum yang ada.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan
merupakan alternatif adalah bahwa selain Jalan Tol, harus ada lintas
jalan umum lain yang
mempunyai asal dan tujuan yang sama sehingga para pemakai jalan
bebas menentukan
pilihan untuk menggunakan atau tidak menggunakan Jalan Tol. Dalam
hal lintas alternatif
jalan umum tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka Jalan Tol
dengan sendirinya
menjadi jalan lintas umum tanpa tol.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
spesifikasi khusus Jalan Tol adalah spesifikasi jalan. Bebas hambatan, antara lain :
a.tidak mempunyai persilangan yang sebidang dengan jalan lain; b.tidak mempunyai jalan
masuk secara langsung, kecuali yang terkendali; c.biaya
operasi kendaraan
melalui Jalan Tol ditambah pembayaran tol masih lebih rendah daripada biaya operasi
kendaraan melalui lintas alternatif jalan umum yang ada. Biaya operasi kendaraan meliputi
antara lain bahan bakar, pelumas, keausan, dan nilai waktu.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
memberikan keandalan adalah memberikan pelayanan dan
keamanan yang mantap.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Mengingat bahwa Jalan
Tol merupakan Jalan Umum/terbuka bagi lalu lintas umum dan mempunyai sifat khusus, sudah
selayaknya pengusahaan Jalan Tol diselenggarakan oleh Badan Hukum Usaha Negara. Yang
dimaksud dengan Badan Hukum Usaha
Negara, adalah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha
Negara. Kekhususan tersebut disebabkan oleh karena obyek usahanya berupa jalan yang kepada
para pemakaianya dikenakan tol akan tetapi mempunyai tujuan untuk pemerataan pengembangan
wilayah bagi terwujudnya perkembangan antar daerah yang seimbang, dan pemerataan
hasil-hasil pembangunan, serta pemantapan pertahanan dan keamanan Bangsa dan Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
pemakaian Jalan Tol selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan untuk kepentingan nasional.
Kepentingan pertahanan
dan keamanan di Jalan Tol, sehingga Jalan Tol tidak dapat digunakan untuk kendaraan
bermotor. Persetujuan Presiden dikeluarkan atas usul Menteri.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hal ini dimaksudkan
agar Pemakai Jalan Tol berhak menuntut dan memperoleh ganti rugi dari Badan Hukum Usaha
Negara Jalan Tol atas kerugian yang nyata-nyata merupakan akibat kesalahan dari Badan
Hukum Usaha Negara Jalan Tol dalam
menyelenggarakan
Jalan Tol tersebut.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Terganggunya peranan
jalan dapat diakibatkan oleh pemakaian jalan yang tidak pada tempatnya, misalnya
berlari-lari, mengendarai sepeda, atau memakai jalan sebagai tempat bermain sepatu roda,
dan skate-board di Jalan Tol serta menempatkan batu-batu
besar,
menumpuk pasir, membuat hambatan-hambatan di Daerah Manfaat Jalan di Jalan umum.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Penyelenggaraan
suatu ruas jalan sebagai Jalan Tol ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usul
Menteri, sehingga apabila terdapat penyelenggaraan suatu ruas jalan sebagai Jalan Tol
tidak ditetapkan dengan Keputusan Presiden, adalah
bertentangan dengan
undang-undang ini.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
memasuki Jalan Tol terbatas pada pejalan kaki yang tidak mengganggu peranan jalan dan
tidak mengakibatkan kerusakan Jalan Tol.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan
pasal ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi penuntutan atas kejahatan dalam
pengusahaan jalan dan merupakan tambahan terhadap ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Bab VII Pasal 192 dan Pasal 193.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Perbuatan pidana ini
dinilai sebagai kejahatan oleh karena akibat dari perbuatan tersebut dapat menimbulkan
bahaya bagi keamanan umum, orang, maupun barang.
Pasal 22
Untuk menjamin
pelaksanaan yang sebaik-baiknya dari peraturan-peraturan atau tindakan yang merupakan
pelaksanaan Undang-undang ini, maka diperlukan sanksi pidana sebagai yang dicantumkan
dalam pasal, ini. Sanksi pidana tersebut hanya menyangkut hal-hal yang bersifat
pelanggaran.
Pasal 23
Maksud ketentuan ini
adalah agar tidak terjadi kekosongan hukum ("rechtsvacuum") dalam bidang jalan.
Pasal 24
Cukup jelas.